Mengenal 6-Tokoh penting! Mursyid Al-Idrisiyyah (Guru penerima sanad)
Toriqoh Al Idrisiyyah adalah sebuah pergerakan Islam yang bermanhaj Tarekat dengan Al-Quran dan As-Sunah sebagai sumber ajarannya Rosulullah SAW. Berbasis pondok pesantren (Fadris) yang menyelenggarakan pendidikan Islam dan umum, yang memiliki banyak kegiatan selain mengelola pendidikan, dan kegiatan ekonomi yang berupa mini market yang diberi nama Qini Mart.
Tarekat Al-Idrisiyyah tidak terlepas dari sejarah terjang para Guru Mursyid dan tokoh-tokohnya, yang menjadi penggerak Jam’iyah (perkumpulan). Guru Mursyid Al-Idrisiyyah kini yang ada di Indonesia, Kabupaten Tasikmalaya. dengan Ketuanya: Syekh Muhammad Fathurrahman M.Ag
Menurut sejarah..
Tarekat Al-Idrisiyyah dinisbahkan kepada nama Syekh Ahmad_ibn_Idris_al-Fasi Hasani (1173 – 1253 H / 1760 - 1837 M). Sebenarnya Tarekat ini berasal dari Tarekat Khidhiriyyah yang berasal dari Nabi Khidir As yang diberikan kepada Syekh Abdul Aziz bin Mas'ud ad-Dabbagh Ra.
Nisbah yang terus berlanjut sampai sekarang. Nah! berikut ini 6-Tokoh-tokoh Al-Idrisiyyah yang membawa Tarekat ini hingga ke indonesia..
1. Syekh Muhammad Fathurrahman M.Ag
Syekh Muhammad Fathurrahman M.Ag yaitu Pimpinan Bimbingan Majlis Taklim Al Idrisiyyah di Indonesia saat ini
Syekh Muhammad Fathurrahman lahir tahun 1973 di Tasikmalaya. Dari pasangan seorang Ajengan kharismatik yang bernama Nasruddin dan Maimunah. Setelah Beliau diangkat sebagai menantu oleh Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan dari anaknya yang pertama, Beliau kemudian dipercayakan memegang tanggung jawab organisasi Yayasan Al-Idrisiyyah sebagai Ketua Umum. Dari jabatan yang diberikan inilah, banyak pengalaman yang diperolehnya terutama dalam masalah kepemimpinan.
Sejarah pendidikan Beliau di bidang agama diawali saat mengenyam pendidikan Tsanawiyyah. Belum dua tahun Beliau meneruskan pendidikannya, atas dasar keinginannya berkhidmah kepada Guru pendidikan formalnya sempat terhenti. Hari-harinya diisi dengan berkhidmah dengan membantu Gurunya dalam beraktivitas. Banyak pekerjaan lainnya yang beliau kerjakan, agar dapat berkhidmah secara penuh kepada Guru mursyid kita, Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan. Seperti memotong kayu bakar, memanjat pohon kelapa untuk mengambil buahnya, jualan kecambah (taoge) di pasar, jualan ikan asin, mengurus gilingan tepung beras, dan mengurus bebek. Beliau rela putus sekolah, untuk dapat berkhidmah kepada Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan.
Pendidikaan yang akrab dengan Beliau saat itu adalah mendalami keilmuan Pesantren tradisional, seperti mendalami kitab kuning. Tidak hanya di Pondok Fadris saja, tapi ia berusaha mengembangkan diri mencari ilmu-ilmu dasar kitab kuning ke berbagai Pesantren seperti di Garut, Limbangan, Sukabumi dan Banten.
2. Syekh al-Akbar Muhyiddin Muhammad Dud Dahlan Ra.
Penerus Syeikh Al-Akbar muhammad dahlan
Sejarah Kelahiran dan Tanda-tanda Kekhalifahan pada Dirinya
Beliau lahir pada di Jakarta, pada tanggal 7 April 1952 M / 12 Rajab 1370 H. Ibunda beliau bernama Siti Am
inah binti H. Muh. Darsu. Sejak kecil beliau sudah berpisah dari orang tuanya, beliau diasuh oleh Kakeknya. Melalui kakeknya inilah beliau diajarkan menghadapi realita kehidupan yang cukup keras. Setelah begitu lama beliau bersama kakeknya, suatu ketika sang Kakek menunjukkan kepada beliau bahwa orang tuannya adalah seorang Guru, sambil mengisyaratkan kepada Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan yang sedang mengajar di Masjid Al-Fattah Jakarta.
Pada saat kabar itu disampaikan, spontanitas dalam hati Muhammad Daud kecil mengatakan ‘Kalau sudah besar nanti, aku harus menjadi seorang Guru seperti Bapakku’.
Tidak banyak, bahkan tidak ada yang menduga bahwa beliau yang dipanggil ‘Abah Anom’[1] oleh Ayahanda-nya, akan menjadi penerus perjalanan kepemimpinan Thariqat ini.
Sebenarnya, menurut penuturan beliau sendiri beberapa kejadian aneh sejak kecil sudah dialami beliau. Di antaranya diselamatkan oleh kekuatan ghaib ketika terjadi kecelakaan, sehingga menyebabkan beliau yang waktu itu masih kecil sudah berada di bawah mobil VW ‘kodok’. Namun kejadian itu tidak membuat beliau celaka sedikitpun, padahal body VW itu begitu rendah dengan dasar jalan.
Satu tanda lainnya, dikisahkan bahwa ketika seseorang menanyakan siapa pengganti Bapak (Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan)? Beliau menjawab: ‘Tidak usah khawatir, sebab dia sudah ada di pangkuanmu’. (Pada saat itu orang yang bertanya sedang menggendong Asy-Syekh Al-Akbar M. Daud Dahlan kecil).
Pak Hasbullah, mengisahkan bahwa ada beberapa orang yang baru saja keluar dari kediaman Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan ra. Sudah menjadi kebiasaan beliau apabila ada orang yang baru saja datang dari kamar sang Mursyid langsung beliau hampiri dan menanyakan apa yang baru dikatakan Asy-Syekh Al-Akbar, barang kali ada hal yang terbaru yang belum ia dengar.[2]
Ketika itu ia dapatkan kisah terbaru, orang yang baru keluar tadi mengatakan bahwa Asy-Syekh Al-Akbar mengabarkan bahwa pengganti Bapak sekarang sedang ada di Saudi. Pada saat itu Asy-Syekh Al-Akbar memang sedang berada di Saudi Arabia menjadi TKI bersama isteri beliau.
Salah seorang murid pernah menatap Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan yang ada pada diri Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Daud Dahlan ketika beliau sedang berceramah di mimbar. Bahkan ada yang mengatakan bahwa banyak kemiripan keduanya, di antaranya gaya beliau menyampaikan nasehat.
Seorang murid yang dibukakan mata hatinya pada ketika Muh. Daud Dahlan berkhutbah di masjid, melihat sosok beliau (Muh. Daud Dahlan) berubah menjadi sosok Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan. Hal ini menunjukkan pelimpahan cahaya ruhani yang kuat kepada beliau sebagai calon pengganti Ayahandanya. Hal serupa juga diungkapkan oleh seorang tokoh masyarakat di Batu Tulis yang dimimpikan bahwa ketika Muh. Daud Dahlan mengajar, terjadilah perubahan wujud menjadi Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan ra.
Seorang Ustadz mendengar Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan ra. (ketika itu sedang istirahat/uzur) mengatakan bahwa pengganti beliau adalah orang yang berani. Saat itu datanglah Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Daud Dahlan sedang dirundung musibah, karena habis berkelahi dengan seorang aparat militer yang mengakibatkan profesinya sebagai supir bis menjadi terancam. Maka dengan titah yang diberikan oleh Guru sekaligus Ayahandanya, setelah itu beliau mulai berkonsentrasi penuh mengelola tugas yang baru saja diembannya itu, yakni sebagai Ketua Umum Yayasan Al-Idrisiyyah.
Belakangan, dengan adanya berbagai perselisihan mengenai kedudukan beliau (apakah hanya sebagai Ketua atau Mursyid), maka bertanyalah beliau kepada Ayahandanya. Maka dijawab, ‘Itu sih, terserah Abah Anom (Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Daud) saja!”
Dengan demikian, lega-lah apa yang menjadi kegundahan beliau, sehingga beliau mantap menjadi pemimpin sekaligus penuntun murid di atas jalan Thariqat ini.
3. Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan
(21 Desember 1916 – 17 September 2001)
A. Sejarah Kelahiran dan Tanda Kekhalifahan yang ada pada Dirinya
Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan merupakan putra (anak laki-laki) tertua dari Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah. Beliau dilahirkan pada tanggal 21 Desember 1916 M bertepatan dengan 26 Safar 1334 H di daerah Cidahu, Tasikmalaya.
Pendidikan awal beliau diperoleh langsung dari ayahandanya. Kemudian Sekolah Rakyat Melayu di Singapura. Sepulang Syekh Abdul Fattah ke tanah air pada tahun 1932 beliau disekolahkan di Madrasah ‘Unwanul Falah, Habib Ali Kwitang dan Madrasah Jami’atul Khair Tanah Abang, Jakarta. Setelah menimba ilmu di dua madrasah tersebut, ia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan kitab-kitab ayahnya manakala membahas suatu persoalan, menunggunya sampai selesai dan mengembalikan kitab tersebut ke tempatnya semula. Pendidikan model terakhir inilah menurut beliau sangat besar pengaruhnya terhadap diri dan kehidupan beliau selanjutnya.
Berbagai kabar mengenai kebesaran beliau telah tercium di masa kanak-kanak oleh beberapa orang yang telah dianugerahi Mukasyafah. Di antaranya Habib Jamalulail yang menjadi Guru ayahanda beliau, yakni Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah yang menyatakan bahwa bayi ini (Muh. Dahlan) adalah Wali Akbar. Pernyataan itu juga dilontarkan oleh Habib Ali Al-Habsyi[1] Kwitang sewaktu beliau masih belajar di sana.
Pernah suatu peristiwa, ketika Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah bersama beberapa orang murid beliau mengadakan perjalanan berziarah ke tempat-tempat Awliya untuk bertabarruk (mengambil berkah) di daerah Jawa, khususnya Jawa Barat.
4. Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah
Mursyid Al-Idrisiyyah (Si Linggis)
Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah (1884 – 1947)
Pada awal perjalanan spiritualnya, beliau sempat menimba ilmu kepada seorang Kiyai yang berhaluan Thariqat Tijaniyyah, yakni KH. Suja’i, hingga tahun 1910. Di sini Syekh Abdul Fattah belajar lebih dari 7 tahun dan menjadi salah seorang santrinya yang ulet dan sungguh-sungguh menimba ilmu kepada gurunya. Beliau terkenal dengan sebutan ‘Si Linggis’, karena begitu tajam dan dalam analisa beliau terhadap berbagai masalah. Bahkan terkadang pelajaran yang belum disampaikan gurunya, telah mampu dikuasainya. Hingga pada suatu ketika Syekh Abdul Fattah menjumpai sebuah ayat Al-Quran:
“Barang siapa yang mengambil hidayah (petunjuk) Allah maka dia termasuk orang yang diberi petunjuk, dan barangsiapa yang sesat (karena tidak mengambil hidayah) Allah maka ia tidak sekali-kali mendapatkan seorang Wali yang Mursyid”. (QS. Al-Kahfi : 17)
Beliau mempertanyakan siapakah “Wali Mursyid” yang dimaksud dalam ayat tersebut. KH. Suja’i menjelaskan bahwa mencari Wali Mursyid itu adalah suatu keharusan, sedangkan KH. Suja’i sendiri mengaku bukan seorang Wali Mursyid. Karena itu beliau menyarankan Syekh Abdul Fattah untuk mencarinya.
Awal pencarian Guru Mursyid telah beliau lakukan di daerah Pulau Jawa dan Sumatera, hingga akhirnya beliau memutuskan mencarinya ke daerah Timur Tengah, khususnya Makkah Al-Mukarramah.
Keberangkatan beliau yang pertama, dengan membawa seluruh keluarganya. Harta benda dan tempat tinggal beliau tinggalkan demi mendapatkan cahaya petunjuk seorang Wali Mursyid. Konon, isteri beliau Ibu Siti Zubaidah merupakan keturunan orang yang berada, sehingga beberapa lahan tanahnya dijual untuk perbekalan selama perjalanan.
Perjalananpun dimulai, dengan kapal laut rombongan mulai singgah dari pelabuhan satu ke pelabuhan yang lain. Namun perjalanan menuju Mekkah menjadi terhenti, ketika kapal yang beliau tumpangi mengalami kerusakan di Singapura. Saat itulah terjadi musibah, di mana seluruh keluarga beliau mengalami kehilangan perbekalan.
5. syekh Ahmad Syarif-as-Sanusi
Syekh Ahmad asy-Syarif dilahirkan pada tahun 1873 di Jaghbub
(1873-1932)
Keadaan diri dan kelahirannya
Sayid Ahmad Syarif memiliki postur tubuh yang sedang, mukanya panjang dan tebal, dan andaikata matanya tidak cekung ke dalam maka dia tampak seperti orang Cina. Matanya sayu dan hampir-hampir tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, dan dia jarang sekali tersenyum. Dia berpakaian jubah putih dan memakai serban lebar berwarna putih juga.
Syaikh Ahmad asy-Syarif dilahirkan pada tahun 1873 di Jaghbub, di mana dia mendapat bimbingan pamannya, Sayyid al-Mahdi, ayahnya (Muhammad Syarif), ar-Rifi dan al-Biskiri. Selain itu dia diperkenalkan dengan semua masalah yang dihadapi oleh Thariqat Sanusiyyah pada saat itu karena pamannya memberitahukan hal-hal ini kepadanya, dan sering mengeluarkan perintah melalui dirinya. Ketika Sayyid al-Mahdi pindah ke Qiru di Sudan, Sayyid Ahmad as-Syarif menemaninya, dan di sanalah dia dinyatakan sebagai calon penggantinya, pada saat pamannya meninggal.
Syekh Ahmad Asy-Syarif mengarang sebuah kitab yang bernama Al-Anwarul Qudsiyyah fi Ma'alimith Thariqis Sanusiyyah. Di dalam kitab tersebut Beliau bertanya kepada kakak dari ayahnya Syekh Muhammad al-Mahdi, kepada siapakah Thariqah Sanusiyyah disandarkan sehingga disebut sebagai Thariqah As-Sanusiyyah Al-Idrisiyyah Al-Qadiriyyah An-Nasiriyyah As-Sadziliyyah. Maka dijawab, bahwa semuanya kembali kepada nama 'Al-Muhammadiyyah', yang berarti mengikuti Sunnah baik sedikit maupun banyak. Pada awalnya Thariqah ini merupakan salah satu cabang dari Thariqah Syadziliyyah. Menurut Syekh Ahmad Asy-Syarif As-Sanusi Thariqah ini dibangun atas dasar mengikuti Sunnah dalam perkataan, perbuatan, keadaan, serta membiasakan menyebut shalawat Nabi di berbagai waktu.
Dalam kitab itu pula diterangkan sumber pengambilan amalan-amalan utama Thariqat Sanusiyyah. Seperti Shalawat Ummiyyah, memiliki sanad dari Syekh Muhammad bin Ali as-Sanusi yang menerima dari Syekh Ahmad bin Idris, beliau dari Syekh Abul Mawahib at-Taziy, beliau dari Syekh Muhammad bin Zayyan, beliau dari Syekh Muhammad bin Nashir ad-Dar'i. Selain itu Syekh Muhammad bin Ali as-Sanusi mendapatkan pula dari Syekh Muhammad bin Muh. bin Abdus Salam al-Banani, beliau dari Syekh Ahmad bin Muhammad bin Nashir ad-Dar'i, dan beliau dari Syekh Muhammad bin Nashir ad-Dar'i.
Sedangkan Shalawat Fatihiyyah, memiliki sanad dari Syekh Muhammad bin Ali as-Sanusi, beliau menerima dari Syekh Ahmad bin Idris, beliau dari Syekh Abul Mawahib at-Taziy, beliau dari Syekh Abul Abbas ad-Dani al-Fasi, beliau dan Syekh at-Taziyyi menerima dari Syekh Abdul Qadir al-Mufti al-Makki, dari Syekh Sa'dud Din bin Sayid Allam Muhammad, kemudian sanadnya bersambungan hingga Syekh Abdul Qadir al-Jaelani.
Maka, tidak semua pengamal Thariqah Idrisiyyah membawakan kedua awrad ini. Sebab mereka tidak mengambil sanad melalui Syekh Muhammad bin Ali as-Sanusi, tapi melalui murid Syekh Ahmad bin Idris lainnya, seperti Syekh Ibrahim Ar-Rasyidi, Syekh Muhammad Al-Mirghani, dsb.
6. Umar Al-Mukhtar
SINGA PADANG PASIR DARI THARIQAT SANUSIYYAH
Anda mungkin pernah menyaksikan film Omar Mukhtar, The Lion of the Desert yang dibintangi sederet aktor Barat terkenal: Anthony Quin, Irene Papas, Oliver Reed, dan Rod Steiger.
Film kolosal yang diproduksi Mustapha Akkad, seorang Muslim asal Aleppo, Suriah, ini mengisahkan perjuangan heroik Umar Mukhtar, seorang tokoh Muslim, melawan tentara pendudukan Italia di Libya. Dengan gagah berani Singa Padang Pasir ini mempertahankan setiap jengkal negerinya dari penjarahan sedadu-serdadu Mussolini yang terkenal brutal. Beliau baru tertangkap ketika usianya sudah 70 tahun. Siapakah tokoh Thariqat yang begitu terkenal ini?
************
Umar Mukhtar lahir pada tahun 1862 di Bathafat, Libya Timur. Ia berasal dari suku Munfah. Dia sudah menjadi yatim ketika masih kecil, karena ayahnya meninggal dunia pada saat dia dan ayahnya dalam perjalanan menunaikan ibadah haji. Dalam usia yang masih kecil itu ia sudah berhasil menghafalkan seluruh al Quran dan mempelajari ilmu agama di tempat kelahirannya, ia berangkat Ke Jaghbub. Di kota ini ia menjadi murid Muhammad Idris putra dari Sayyid Muhammad al Mahdi. Segera sang Gurupun mengetahui kecerdasan muridnya. Tidak aneh bila ketika muridnya selesai belajar kepadanya, ia mengangkat Umar Mukhtar sebagai guru di kawasan Qushur, sebuah kota kecil di kawasan Jabal Akhdhar pada tahun 1897.
Umar Mukhtar adalah seorang Da’i Islam yang besar. Dia menyeru kepada Islam, dan menyebarluaskan pikiran-pikiran Islam dengan memberikan bimbingan, penjelasan, dan keteladanan. Dia mempunyai bakat besar. Allah memberikan kepadanya kemampuan menyelesaikan berbagai perselisihan di kalangan masyarakat dengan cerdas dan piawai. Di sini Umar Mukhtar menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan. Beberapa tahun kemudian, karena keberhasilannya mengarahkan masyarakat sekitarnya, penguasa kawasan itu mengangkatnya sebagai penasehatnya.
Saat itu gerakan pendudukan tentara Italia di negerinya semakin menjadi-jadi. Melihat hal itu, Umar Mukhtar terpanggil untuk mempertahankan negerinya. Dengan segera ia menjadi salah seorang tokoh terkenal. Malah, akhirnya ia diminta gurunya untuk memimpin perlawanan terhadap penjajah Italia.
Kilas Balik
Perhatian Italia terhadap Libya mulai sejak 1871. Yakni, setelah Italia beerhasil mewujudkan kesatuan politiknya. Negeri ini pun mulai mengerlingkan pandangannya ke arah Eropa, kawasan Mediteranean dan Afrika. Perhatiannya pertama-tama terarah pada masalah kebudayaan, kesehatan dan ekonomi.
Pada tahun 1910 Italia mengirim sebuah ekspedisi arkeologi ke Libya, ketika itu berada di bawah kawasan kesultanan Turki. Untuk meneliti peninggalan purba. Konon, ekspedisi ini juga menyiapkan peta-peta yang memudahkan tentara Italia memasuki Libya. Pada Januari 1911 penguasa Turki di Libya memperingatkan pemerintah pusat di Turki tentang sikap Italia yang semakin menaruh perhatian terhadap Libya. Tapi, pemerintah Turki memandang remeh peringatan itu. Sikap pemerintah Turki ini bisa dimengerti, karena pemerintah Turki tengah disibukkan oleh berbagai persoalan dalam negeri.
Peringatan itu ternyata benar. Tanpa diduga pada tanggal 29 September 1911 Italia menyatakan perang terhadap Turki di Libya. Pada hari berikutnya skuadron kapal perang Italia mulai memblokade Tripoli, ibukota Libya. Setelah empat hari diblokade, kota itu jatuh. Karena keunggulan kekuatan militer dan teknik serdadu Italia ketika itu, yang berjumlah 40.000 orang, 6.000 di antaranya anggota pasukan artileri, sejumlah kota penting Libya jatuh. Pada akhir Oktober 1911 hampir sebagian besar kawasan pantai negeri ini telah jatuh ke tangan pasukan pendudukan Italia.
Pasukan Turki yang berada di Libya dengan gagah berani berupaya menghadang gerak maju pasukan Italia. Sayang, karena jumlahnya sedikit dan dilengkapi dengan peralatan perang yang terbatas, akhirnya pada 11 Oktober 1912 mereka terpaksa mendatangi sebuah perjanjian ini, Libya harus diserahkan Turki pada Italia.
Ketika bangsa Libya mengetahui hal itu, merekapun bergerak untuk mempertahankan negeri mereka. Terjadilah penyerangan terhadap pasukan pendudukan Italia. Bantuan sukarelawan berdatangan dari sejumlah negara Arab lain. Sayang, perlawanan ketika itu dilakukan secara acak-acakan. Akibatnya, perlawanan itu dengan mudah dipatahkan lawan.
Setelah pasukan Turki ditarik mundur dari Libya, para pengikut Gerakan Sanusiyyah yang memegang kendali perjuangan melawan pendudukan Italia. Khususnya di kawasan Cyrenayca dan Libya Timur. Di antara tokoh gerakan perlawanan itu ialah Sayyid Ahmad Syarif as Sanusi dan Sayyid Muhammad Idris as Sanusi. Sementara perlawanan di Tripoli di bawah pimpinan Sulaiman al Baruni. Pertempuran yang paling sengit meletus pada bulan April 1915, disebut pertempuran Qardhabiah.
Tampil ke Depan
Pada bulan Oktober 1922 Benito Mussolini (1883 – 1945) berhasil merebut kekuasaan di Italia. Ia melihat Libya merupakan medan yang luas untuk menunjukkan kekuatannya kepada dunia. Mulailah babak baru pendudukan Italia di Libya.
Dua tahun sebelumnya tercapai perjanjian antara panglima pasukan Italia di Libya dan pemimpin perlawanan Libya dan pemimpin perlawanan Libya, Muhammad Idris as Sanusi. Dalam perjanjian ini, yang disebut dengan ‘Perjanjian Rajmah’, Italia mengakui kedudukan Muhammad Idris as Sanusi sebagai penguasa kawasan pedalaman Libya. Sebaliknya ia mengakui kedudukan panglima pasukan Italia sebagai penguasa kawasan pantai Libya.
Perjanjian Rajmah tersebut berlaku efektif sampai 1922. Pada tahun itu Mussolini membatalkan perjanjian itu. Penguasa Pendudukan Italia pun menyatakan kekuasaannya meliputi seluruh Libya.
Melihat tindakan Mussolini yang seenaknya itu, Muhammad Idris as Sanusi menyadari, Italia berupaya menyingkirkannya. Iapun memilih meninggalkan negerinya menuju Mesir, setelah menyerahkan kepemimpinan perlawanan kepada Umar Mukhtar. Ketika itu Umar Mukhtar telah menjadi salah seorang tokoh Gerakan Sanusiyyah.
Setelah perlawanan terhadap pendudukan Italia berada di tangan Umar Mukhtar, pusat perjuangan mereka dialihkan ke kawasan Cyrenaica. Di kawasan itu meletus berbagai pertempuran sengit, antara para pejuang Libya di bawah pimpinan Umar Mukhtar dan serdadu-serdadu Itallia di bawah komando Jendral Graziani. Dalam pertempuran-pertempuran itu, Cyrenaica mendapat gempuran habis-habisan dari pesawat-pesawat tempur dan tank-tank Italia yang menabur kematian. Graziani membentuk “Mahkamah Militer Kilat”.
Dalam mengarahkan gerakan perlawanan Libya, Umar Libya, Umar Mukhtar memilih Jabal Akhdhar sebagai pangkalan. Karenanya pasukan Italia berupaya memblokadenya dengan menduduki wilayah-wilayah sekitarnya. Misalnya, Ajnabiah dan Jaghbub. Malah, untuk mematahkan perlawanan Umar, Mussolini mengangkat Jendral Padolini sebagai penglima baru pasukan pendudukan Italia.
Dalam menghadapi Umar Mukhtar dan para pengikutnya, Jendreal Padolini pertama-tama menyebarkan pamflet-pamflet ke seluruh penjuru Libya. Tapi upaya ini tidak mendatangkan hasil. Melihat kegagalan itu, Padolini mengubah taktiknya. Ia membuat sejumlah jalan menuju Jabal Akhdhar guna memudahkan serdadu-serdadunya memburu Umar Mukhtar dan para pejuang Libya lainnya. Ternyata taktik ini juga patah di tengah jalan. Ini karena Umar Mukhtar dan para pengikutnya benar-benar menguasai kawasan itu. Sehingga dengan mudah mereka melepaskan diri dari sergapan pasukan Italia.
Menolak Berbagai Tawaran Menarik
Melihat kegagalan taktik militer yang ia lakukan, Padolini berganti haluan dengan memakai sarana politik. Ia mengajukan sejumlah tawaran yang menarik kepada Umar Mukhtar ddan para pengikutnya, dengan syarat Umar Mukhtar mau berunding. Tapi, Umar Mukhtar menolak semua tawaran itu.
Pada Juni 1930 utusan Padolini kembali menemui Umar Mukhtar, menawarkan gencatan senjata. Sekali lagi tawaran itu ditolak Umar Mukhtar, dengan mengajukan sejumlah syarat dan tuntutan yang sulit dipenuhi. Misalnya, kesediaan Italia untuk tidak mencampuri urusan Libya, pengakuan bahasa Arab sebagai bahasa resmi, dan pendirian sejumlah perguruan tinggi. Jelas, tuntutan itu ditolak pemerintah Italia.
Melihat bahaya yang semakin meningkat, peenguasa Italia menyadari bahwa harapan yang ada terletak pada perlakuan yang baik terhadap Umar Mukhtar dan kesediaannya untuk berunding. Padolini pun mengutus duta kepada Umar Mukhtar, untuk mengemukakan kepadanya bahwa tuntutan-tuntutannya diterima pemerintah Italia. Tapi untuk menandatangani perjanjian di antara kedua belah pihak, perlu diadakan pertemuan antara Umar Mukhtar dan Padolini. Sebagai tempat pertemuan, Padolini mengajukan Kota Bengazi.
Umar Mukhtar ternyata tidak mudah terkecoh. Ia mengetahui maksud yang tersembunyi di balik tawaran itu. Karenanya ia menolak untuk menemui Padolini. Sebagai gantinya ia mengutus Hasan Ridha as Sanusi. Seperti diperkirakan Umar Mukhtar, urusannya dipaksa Padolini untuk menyepakati sebuah perjanjian baru. Dalam perjanjian itu, antara lain Hasan Ridha dan Umar Mukhtar seetiap bulan akan menerima gaji sebesar 50.000 franc. Di samping itu Hasan Ridha akan dibuatkan sebuah istana megah di Bangazi. Pemeritah Italia juga menjanjikan akan memugar padepokan Umar Mukhtar, dan membangunkan sebuah rumah dan masjid untuknya.
Jelas, perjanjian itu ditolak Umar Mukhtar. Ia sebarluaskan penolakannya itu di kalangan bangsa Libya. Perangpun pecah kembali. Dalam menghadapi pertempuran yang kembali berkobar, Padolini mengerahkan komando pasukan Italia kepada Jendral Graziani. Graziani segera melancarkan upaya untuk membendung gerak Umar Mukhtar dan para pejuang lainnya. Antara lain dengan menutup sekolah-sekolah dan memaksa penduduk kawasan Jabal Akhdhar mengungsi ke wilayah-wilayah yang tandus dan kering kerontang. Akibatnya, banyak di antara mereka yang mati kelaparan. Graziani memerintahkan pemasangan kawat berduri di perbatasan Libya-Mesir, guna menghentikan bantuan dari negara-negara Arab lain.
Menghadapi tekanan yang semakin keras dan gempuran yang tidak kenal henti itu, Umar Mukhtar dan para pengikutnya kemudian pindah ke kawasan yang disebut dengan ‘Gunung Obeid’ dan terkenal sulit medannya ini mereka jadikan sebagai pangkalan baru. Penduduk kawasan ini, yang sebelumnya telah menyerah kepada pasukan pendudukan, malah berhasil dibangkitkan semangatnya untuk turun ke medan laga.
Dihormati lawan
Dengan berpindahnya pangkalan perlawanan, semangat perjuangan Umar Mukhtar berkobar kembali. Terjadilah serangkaian pertempuran sengit. Yang paling terkenal ialah ‘pertempuran Rahiba’, yang meletus pada 28 Maret 1927.
Pertempuran Rahiba terjadi setelah serdadu-serdadu Italia berhasil menguasai sepenuhnya kawasan pantai Tripoli dan Bengazi, dan memojokkan para pejuang ke kawasan Jabal Akhdhar. Ketika bulan Ramadhan (bertepatan dengan Maret 1927) tiba, Umar Mukhtar dan para pengikutnya lebih banyak menggunakan waktunya untuk melakukan berbagai ibadah seperti shalat dan tadarus al Quran. Saat itu seakan terjadi gencatan senjata di kedua belah pihak yang berperang untuk mempersiapkan diri guna menghadapi pertempuran yang bakal terjadi kembali.
Dalam suasana yang tenang itu, ada orang yang memberi saran kepada panglima pasukan Italia untuk menyerbu para pejuang. Saran itu disepakati pemerintah Italia. Segera dengan secara diam-diam dilakukan persiapan militer besar-besaran selam dua minggu. Pasukan yang terdiri dari lebih seribu orang ini dilengkapi dengan tank-tank dan peralatan perang termodern ketika itu. Pasukan ini kemudian bergerak ke Jabal Akhdhar, dengan diam-diam agar bisa sampai ke ujung kawasan itu, sementara pejuang tidak dalam keadaan siap.
Pada suatu pagi di bulan Ramadhan, ketika Umar Mukhtar sedang mendaras al Quran, tiba-tiba sejumlah pesawat tempur Italia melancarkan serangan besar-besaran terhadap tempat-tempat di sekitarnya. Belum lagi ia siap, seorang pengiringnya melaporkan tentang kedatangan serdadu-serdadu Italia. Atas saran seorang tangan kanannya, iapun membawa para pejuang yang tinggal berjumlah 100 orang ke hutan. Dengan taktik hit and run, akhirnya ia dan para pengikutnya berhasil mematahkan serangan dadakan yang dilancarkan serdadu-serdadu Italia. Dalam pertempuran ini korban di pihaknya sekitar 50 orang. Sementara pasukan Italia kehilangan sekitar 300 anggotanya. Kekalahan dalam pertempuran Rahiba ini benar-benar memalukan pasukan pendudukan Italia. Hal ini membuat Gubenur Jendral Tirocci melancarkan serentan tindakan militer guna menundukkan Umar Mukhtar dan para pengikutnya. Terjadilah serangkaian pertempuran sengit kembali. Yang paling terkenal, di antara pertempuran-pertempuran itu ialah ‘Pertempuran Kafra’ yang terjadi pada 8 Mei 1931.
Kemenangan Umar Mukhtar dan para pengikutnya dalam pertempuran-pertempuran itu membuat namanya terkenal. Tidak hanya di dunia Islam saja, tapi juga di Barat. Apalagi sikapnya yang menghormati dan memperlakukan baik para tawanan, membuat Umar Mukhtar dihormati lawan. Sebaliknya ia juga mengakui, tidak semua bangsa Italia setuju dengan tindakan pasukan Italia di Libya. Sikapnya yang jantan ini membuat perjuangannya mendapat perhatian banyak pihak di Barat.
Kisah mengharukan Umar Al-Muhktar yang Mati Syahid di Tiang Gantungan
Di antara kebiasaan Umar Mukhtar ialah keluar bersama-sama beberapa pengawalnya mengelilingi kawasan Jabal Akhdhar. Maksudnya untuk mengawasi gerakan serdadu-sedadu Italia. Tapi, terkadang ia kurang berhati-hati. Kerapkali ia melepaskan diri dari pengawalan para pengiringnya. Tidak aneh bila teman-temannya sering memperingatkannya. Meski demikian ia tetap melakukan tindakan itu.
Pada Jum’at 12 September 1931 Umar Mukhtar dan 40 orang pengiringnya keluar untuk melakukan pengintaian. Pasukan Italia ketika itu telah memasang perangkap di dekat Desa Salanthah, Jabal Akhdhar. Ketika ia dan para pengikutnya tiba di desa itu, tanpa menyadari adanya jebakan tersebut, tiba-tiba mereka telah dikurung oleh ratusan serdadu Italia. Terjadilah pertempuran sengit. Para pengiringnya bertempur sampai mereka semua mati syahid.
Melihat semua pengiringnya telah tewas, Umar Mukhtar yang ketika itu telah berusia 70 tahun tetap bertempur dengan sengitnya. Tiba-tiba kudanya terkena timah panas. Iapun jatuh terpental dari kudanya. Dengan berjalan tertatih-tatih ia menuju ke sebuah pohon, untuk sejenak bernafas. Tapi, segera ratusan serdadu Italia mengurungnya dan menangkapnya.
Umar Mukhtar, dengan pengawalan yang sangat ketat kemudian dibawa ke Marfa’, sebuah kota pelabuhan. Dari sana kemudian ia dibawa ke Benghazi. Kebetulan Jendral Graziani ketika itu sedang berada di Roma. Begitu menerima berita tertangkapnya Umar Mukhtar, hari itu juga ia langsung kembali ke Libya dengan menumpang pesawat terbang. Begitu sampai di sana, ia langsung memerintahkan Umar Mukhtar dihadapkan ke Mahkamah Militer, di bawah pimpinan hakim ketua Marioni1. Umar Mukhtar tampak gagah berani tatkala diadili. Keputusan segera dijatuhkan. Tak ayal lagi hukuman gantung dijatuhkan terhadap Singa Padang Pasir itu. Mendengar putusan itu Umar Mukhtar berucap: إنا لله وإنا إليه راجعون.
Mereka mendorongnya kepada kematian, namun Umar Mukhtar tidak gentar dan sedih. Dia tidak takut dan gentar menghadapi kematian, karena ia sendiri tellah berusaha lebih dari sekali untuk mendapatkannya di medan kemuliaan dan kesatriaan. Tidak satupun kata yang menunjukkan kelemahan dan keraguan keluar dari mulutnya. Bagaimana tidak, dia adalah singa padang pasir:
Singa mengaum di balik terali besi
Engkau tidak akan melihat singa menangis merunduk.
Pada pagi, Rabu 16 September 1931, yakni empat hari setelah Umar Mukhtar ditangkap, orang tua pejuang yang telah berumur 90 tahun itu dibawa ke tiang gantungan. Setelah melakukan shalat dan mengucapkan dua kalimat syahadat “لآ إله إلا الله محمد رسول الله Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Utusan Allah”, Umar Mukhtar dengan langkah yang tenang dan tersenyum menghadap Khaliqnya, diiringi tetesan air mata 20 ribu orag Libya yang ketika itu turut menghadiri kepergian Umar Mukhtar menghadap Tuhannya dan mati syahid di tiang gantungan.
Semoga Allah merahmati Ahmad Syauqi yang telah berkata untuknya:
Engkau disuruh memilih, maka engkaupun memilih bermalam dalam keadaan lapar,
Engkau tidak membangun kedudukan atau mengumpulkan kekayaan,
Sesunguhnya pahlawan mati karena kehausan, dan bukanlah pahlawan yang minum air dengan sekali tegukan.
Umar Mukhtar dimakamkan di dekat pintu masuk Benghazi Timur. Pada makamnya yang sederhana terukir tulisan: “Lambang kepahlawanan dan kesyahidan: Mujahid Besar Omar Mukhtar, Jumadil Ula 1350 H / 16 September 1931”.
LQ, Batu Tulis, 9 Mei 2001/ 15 Shafar 1422
1 Pengadilannya disebut sebagai ‘Pengadilan Thayyarah’.
Semoga bermanfaat
Wassalamualaikum!
Toriqoh Al Idrisiyyah adalah sebuah pergerakan Islam yang bermanhaj Tarekat dengan Al-Quran dan As-Sunah sebagai sumber ajarannya Rosulullah SAW. Berbasis pondok pesantren (Fadris) yang menyelenggarakan pendidikan Islam dan umum, yang memiliki banyak kegiatan selain mengelola pendidikan, dan kegiatan ekonomi yang berupa mini market yang diberi nama Qini Mart.
Tarekat Al-Idrisiyyah tidak terlepas dari sejarah terjang para Guru Mursyid dan tokoh-tokohnya, yang menjadi penggerak Jam’iyah (perkumpulan). Guru Mursyid Al-Idrisiyyah kini yang ada di Indonesia, Kabupaten Tasikmalaya. dengan Ketuanya: Syekh Muhammad Fathurrahman M.Ag
Menurut sejarah..
Tarekat Al-Idrisiyyah dinisbahkan kepada nama Syekh Ahmad_ibn_Idris_al-Fasi Hasani (1173 – 1253 H / 1760 - 1837 M). Sebenarnya Tarekat ini berasal dari Tarekat Khidhiriyyah yang berasal dari Nabi Khidir As yang diberikan kepada Syekh Abdul Aziz bin Mas'ud ad-Dabbagh Ra.
Nisbah yang terus berlanjut sampai sekarang. Nah! berikut ini 6-Tokoh-tokoh Al-Idrisiyyah yang membawa Tarekat ini hingga ke indonesia..
6-Tokoh penting Tarwkat Al-Idrisiyyah-alidrisiyyah.or.id |
1. Syekh Muhammad Fathurrahman M.Ag
Syekh Muhammad Fathurrahman M.Ag yaitu Pimpinan Bimbingan Majlis Taklim Al Idrisiyyah di Indonesia saat ini
Syekh Muhammad Fathurrahman M.Ag-alidrisiyah.or.id |
Mursyid Al-Idrisiyyah (2010)
Syekh Muhammad Fathurrahman lahir tahun 1973 di Tasikmalaya. Dari pasangan seorang Ajengan kharismatik yang bernama Nasruddin dan Maimunah. Setelah Beliau diangkat sebagai menantu oleh Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan dari anaknya yang pertama, Beliau kemudian dipercayakan memegang tanggung jawab organisasi Yayasan Al-Idrisiyyah sebagai Ketua Umum. Dari jabatan yang diberikan inilah, banyak pengalaman yang diperolehnya terutama dalam masalah kepemimpinan.
Sejarah pendidikan Beliau di bidang agama diawali saat mengenyam pendidikan Tsanawiyyah. Belum dua tahun Beliau meneruskan pendidikannya, atas dasar keinginannya berkhidmah kepada Guru pendidikan formalnya sempat terhenti. Hari-harinya diisi dengan berkhidmah dengan membantu Gurunya dalam beraktivitas. Banyak pekerjaan lainnya yang beliau kerjakan, agar dapat berkhidmah secara penuh kepada Guru mursyid kita, Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan. Seperti memotong kayu bakar, memanjat pohon kelapa untuk mengambil buahnya, jualan kecambah (taoge) di pasar, jualan ikan asin, mengurus gilingan tepung beras, dan mengurus bebek. Beliau rela putus sekolah, untuk dapat berkhidmah kepada Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan.
Pendidikaan yang akrab dengan Beliau saat itu adalah mendalami keilmuan Pesantren tradisional, seperti mendalami kitab kuning. Tidak hanya di Pondok Fadris saja, tapi ia berusaha mengembangkan diri mencari ilmu-ilmu dasar kitab kuning ke berbagai Pesantren seperti di Garut, Limbangan, Sukabumi dan Banten.
2. Syekh al-Akbar Muhyiddin Muhammad Dud Dahlan Ra.
Syekh al akbar M. Muh. Daud Dahlan-alidrisiyyah.or.id |
Penerus Syeikh Al-Akbar muhammad dahlan
Sejarah Kelahiran dan Tanda-tanda Kekhalifahan pada Dirinya
Beliau lahir pada di Jakarta, pada tanggal 7 April 1952 M / 12 Rajab 1370 H. Ibunda beliau bernama Siti Am
inah binti H. Muh. Darsu. Sejak kecil beliau sudah berpisah dari orang tuanya, beliau diasuh oleh Kakeknya. Melalui kakeknya inilah beliau diajarkan menghadapi realita kehidupan yang cukup keras. Setelah begitu lama beliau bersama kakeknya, suatu ketika sang Kakek menunjukkan kepada beliau bahwa orang tuannya adalah seorang Guru, sambil mengisyaratkan kepada Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan yang sedang mengajar di Masjid Al-Fattah Jakarta.
Pada saat kabar itu disampaikan, spontanitas dalam hati Muhammad Daud kecil mengatakan ‘Kalau sudah besar nanti, aku harus menjadi seorang Guru seperti Bapakku’.
Tidak banyak, bahkan tidak ada yang menduga bahwa beliau yang dipanggil ‘Abah Anom’[1] oleh Ayahanda-nya, akan menjadi penerus perjalanan kepemimpinan Thariqat ini.
Sebenarnya, menurut penuturan beliau sendiri beberapa kejadian aneh sejak kecil sudah dialami beliau. Di antaranya diselamatkan oleh kekuatan ghaib ketika terjadi kecelakaan, sehingga menyebabkan beliau yang waktu itu masih kecil sudah berada di bawah mobil VW ‘kodok’. Namun kejadian itu tidak membuat beliau celaka sedikitpun, padahal body VW itu begitu rendah dengan dasar jalan.
Satu tanda lainnya, dikisahkan bahwa ketika seseorang menanyakan siapa pengganti Bapak (Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan)? Beliau menjawab: ‘Tidak usah khawatir, sebab dia sudah ada di pangkuanmu’. (Pada saat itu orang yang bertanya sedang menggendong Asy-Syekh Al-Akbar M. Daud Dahlan kecil).
Pak Hasbullah, mengisahkan bahwa ada beberapa orang yang baru saja keluar dari kediaman Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan ra. Sudah menjadi kebiasaan beliau apabila ada orang yang baru saja datang dari kamar sang Mursyid langsung beliau hampiri dan menanyakan apa yang baru dikatakan Asy-Syekh Al-Akbar, barang kali ada hal yang terbaru yang belum ia dengar.[2]
Ketika itu ia dapatkan kisah terbaru, orang yang baru keluar tadi mengatakan bahwa Asy-Syekh Al-Akbar mengabarkan bahwa pengganti Bapak sekarang sedang ada di Saudi. Pada saat itu Asy-Syekh Al-Akbar memang sedang berada di Saudi Arabia menjadi TKI bersama isteri beliau.
Salah seorang murid pernah menatap Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan yang ada pada diri Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Daud Dahlan ketika beliau sedang berceramah di mimbar. Bahkan ada yang mengatakan bahwa banyak kemiripan keduanya, di antaranya gaya beliau menyampaikan nasehat.
Seorang murid yang dibukakan mata hatinya pada ketika Muh. Daud Dahlan berkhutbah di masjid, melihat sosok beliau (Muh. Daud Dahlan) berubah menjadi sosok Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan. Hal ini menunjukkan pelimpahan cahaya ruhani yang kuat kepada beliau sebagai calon pengganti Ayahandanya. Hal serupa juga diungkapkan oleh seorang tokoh masyarakat di Batu Tulis yang dimimpikan bahwa ketika Muh. Daud Dahlan mengajar, terjadilah perubahan wujud menjadi Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan ra.
Seorang Ustadz mendengar Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan ra. (ketika itu sedang istirahat/uzur) mengatakan bahwa pengganti beliau adalah orang yang berani. Saat itu datanglah Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Daud Dahlan sedang dirundung musibah, karena habis berkelahi dengan seorang aparat militer yang mengakibatkan profesinya sebagai supir bis menjadi terancam. Maka dengan titah yang diberikan oleh Guru sekaligus Ayahandanya, setelah itu beliau mulai berkonsentrasi penuh mengelola tugas yang baru saja diembannya itu, yakni sebagai Ketua Umum Yayasan Al-Idrisiyyah.
Belakangan, dengan adanya berbagai perselisihan mengenai kedudukan beliau (apakah hanya sebagai Ketua atau Mursyid), maka bertanyalah beliau kepada Ayahandanya. Maka dijawab, ‘Itu sih, terserah Abah Anom (Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Daud) saja!”
Dengan demikian, lega-lah apa yang menjadi kegundahan beliau, sehingga beliau mantap menjadi pemimpin sekaligus penuntun murid di atas jalan Thariqat ini.
3. Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan
Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan-alidrisiyyah.or.id |
(21 Desember 1916 – 17 September 2001)
A. Sejarah Kelahiran dan Tanda Kekhalifahan yang ada pada Dirinya
Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan merupakan putra (anak laki-laki) tertua dari Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah. Beliau dilahirkan pada tanggal 21 Desember 1916 M bertepatan dengan 26 Safar 1334 H di daerah Cidahu, Tasikmalaya.
Pendidikan awal beliau diperoleh langsung dari ayahandanya. Kemudian Sekolah Rakyat Melayu di Singapura. Sepulang Syekh Abdul Fattah ke tanah air pada tahun 1932 beliau disekolahkan di Madrasah ‘Unwanul Falah, Habib Ali Kwitang dan Madrasah Jami’atul Khair Tanah Abang, Jakarta. Setelah menimba ilmu di dua madrasah tersebut, ia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan kitab-kitab ayahnya manakala membahas suatu persoalan, menunggunya sampai selesai dan mengembalikan kitab tersebut ke tempatnya semula. Pendidikan model terakhir inilah menurut beliau sangat besar pengaruhnya terhadap diri dan kehidupan beliau selanjutnya.
Berbagai kabar mengenai kebesaran beliau telah tercium di masa kanak-kanak oleh beberapa orang yang telah dianugerahi Mukasyafah. Di antaranya Habib Jamalulail yang menjadi Guru ayahanda beliau, yakni Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah yang menyatakan bahwa bayi ini (Muh. Dahlan) adalah Wali Akbar. Pernyataan itu juga dilontarkan oleh Habib Ali Al-Habsyi[1] Kwitang sewaktu beliau masih belajar di sana.
Pernah suatu peristiwa, ketika Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah bersama beberapa orang murid beliau mengadakan perjalanan berziarah ke tempat-tempat Awliya untuk bertabarruk (mengambil berkah) di daerah Jawa, khususnya Jawa Barat.
4. Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah
Mursyid Al-Idrisiyyah (Si Linggis)
Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah-alidrisiyyah.or.id |
Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah (1884 – 1947)
Pada awal perjalanan spiritualnya, beliau sempat menimba ilmu kepada seorang Kiyai yang berhaluan Thariqat Tijaniyyah, yakni KH. Suja’i, hingga tahun 1910. Di sini Syekh Abdul Fattah belajar lebih dari 7 tahun dan menjadi salah seorang santrinya yang ulet dan sungguh-sungguh menimba ilmu kepada gurunya. Beliau terkenal dengan sebutan ‘Si Linggis’, karena begitu tajam dan dalam analisa beliau terhadap berbagai masalah. Bahkan terkadang pelajaran yang belum disampaikan gurunya, telah mampu dikuasainya. Hingga pada suatu ketika Syekh Abdul Fattah menjumpai sebuah ayat Al-Quran:
“Barang siapa yang mengambil hidayah (petunjuk) Allah maka dia termasuk orang yang diberi petunjuk, dan barangsiapa yang sesat (karena tidak mengambil hidayah) Allah maka ia tidak sekali-kali mendapatkan seorang Wali yang Mursyid”. (QS. Al-Kahfi : 17)
Beliau mempertanyakan siapakah “Wali Mursyid” yang dimaksud dalam ayat tersebut. KH. Suja’i menjelaskan bahwa mencari Wali Mursyid itu adalah suatu keharusan, sedangkan KH. Suja’i sendiri mengaku bukan seorang Wali Mursyid. Karena itu beliau menyarankan Syekh Abdul Fattah untuk mencarinya.
Awal pencarian Guru Mursyid telah beliau lakukan di daerah Pulau Jawa dan Sumatera, hingga akhirnya beliau memutuskan mencarinya ke daerah Timur Tengah, khususnya Makkah Al-Mukarramah.
Keberangkatan beliau yang pertama, dengan membawa seluruh keluarganya. Harta benda dan tempat tinggal beliau tinggalkan demi mendapatkan cahaya petunjuk seorang Wali Mursyid. Konon, isteri beliau Ibu Siti Zubaidah merupakan keturunan orang yang berada, sehingga beberapa lahan tanahnya dijual untuk perbekalan selama perjalanan.
Perjalananpun dimulai, dengan kapal laut rombongan mulai singgah dari pelabuhan satu ke pelabuhan yang lain. Namun perjalanan menuju Mekkah menjadi terhenti, ketika kapal yang beliau tumpangi mengalami kerusakan di Singapura. Saat itulah terjadi musibah, di mana seluruh keluarga beliau mengalami kehilangan perbekalan.
5. syekh Ahmad Syarif-as-Sanusi
Syekh Ahmada Syarif as-Sanusi-alidrisiyyah.or.id |
Syekh Ahmad asy-Syarif dilahirkan pada tahun 1873 di Jaghbub
(1873-1932)
Keadaan diri dan kelahirannya
Sayid Ahmad Syarif memiliki postur tubuh yang sedang, mukanya panjang dan tebal, dan andaikata matanya tidak cekung ke dalam maka dia tampak seperti orang Cina. Matanya sayu dan hampir-hampir tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, dan dia jarang sekali tersenyum. Dia berpakaian jubah putih dan memakai serban lebar berwarna putih juga.
Syaikh Ahmad asy-Syarif dilahirkan pada tahun 1873 di Jaghbub, di mana dia mendapat bimbingan pamannya, Sayyid al-Mahdi, ayahnya (Muhammad Syarif), ar-Rifi dan al-Biskiri. Selain itu dia diperkenalkan dengan semua masalah yang dihadapi oleh Thariqat Sanusiyyah pada saat itu karena pamannya memberitahukan hal-hal ini kepadanya, dan sering mengeluarkan perintah melalui dirinya. Ketika Sayyid al-Mahdi pindah ke Qiru di Sudan, Sayyid Ahmad as-Syarif menemaninya, dan di sanalah dia dinyatakan sebagai calon penggantinya, pada saat pamannya meninggal.
Syekh Ahmad Asy-Syarif mengarang sebuah kitab yang bernama Al-Anwarul Qudsiyyah fi Ma'alimith Thariqis Sanusiyyah. Di dalam kitab tersebut Beliau bertanya kepada kakak dari ayahnya Syekh Muhammad al-Mahdi, kepada siapakah Thariqah Sanusiyyah disandarkan sehingga disebut sebagai Thariqah As-Sanusiyyah Al-Idrisiyyah Al-Qadiriyyah An-Nasiriyyah As-Sadziliyyah. Maka dijawab, bahwa semuanya kembali kepada nama 'Al-Muhammadiyyah', yang berarti mengikuti Sunnah baik sedikit maupun banyak. Pada awalnya Thariqah ini merupakan salah satu cabang dari Thariqah Syadziliyyah. Menurut Syekh Ahmad Asy-Syarif As-Sanusi Thariqah ini dibangun atas dasar mengikuti Sunnah dalam perkataan, perbuatan, keadaan, serta membiasakan menyebut shalawat Nabi di berbagai waktu.
Dalam kitab itu pula diterangkan sumber pengambilan amalan-amalan utama Thariqat Sanusiyyah. Seperti Shalawat Ummiyyah, memiliki sanad dari Syekh Muhammad bin Ali as-Sanusi yang menerima dari Syekh Ahmad bin Idris, beliau dari Syekh Abul Mawahib at-Taziy, beliau dari Syekh Muhammad bin Zayyan, beliau dari Syekh Muhammad bin Nashir ad-Dar'i. Selain itu Syekh Muhammad bin Ali as-Sanusi mendapatkan pula dari Syekh Muhammad bin Muh. bin Abdus Salam al-Banani, beliau dari Syekh Ahmad bin Muhammad bin Nashir ad-Dar'i, dan beliau dari Syekh Muhammad bin Nashir ad-Dar'i.
Sedangkan Shalawat Fatihiyyah, memiliki sanad dari Syekh Muhammad bin Ali as-Sanusi, beliau menerima dari Syekh Ahmad bin Idris, beliau dari Syekh Abul Mawahib at-Taziy, beliau dari Syekh Abul Abbas ad-Dani al-Fasi, beliau dan Syekh at-Taziyyi menerima dari Syekh Abdul Qadir al-Mufti al-Makki, dari Syekh Sa'dud Din bin Sayid Allam Muhammad, kemudian sanadnya bersambungan hingga Syekh Abdul Qadir al-Jaelani.
Maka, tidak semua pengamal Thariqah Idrisiyyah membawakan kedua awrad ini. Sebab mereka tidak mengambil sanad melalui Syekh Muhammad bin Ali as-Sanusi, tapi melalui murid Syekh Ahmad bin Idris lainnya, seperti Syekh Ibrahim Ar-Rasyidi, Syekh Muhammad Al-Mirghani, dsb.
6. Umar Al-Mukhtar
SINGA PADANG PASIR DARI THARIQAT SANUSIYYAH
Umar al-Mukhtar-alidrisiyyah.or.id |
Anda mungkin pernah menyaksikan film Omar Mukhtar, The Lion of the Desert yang dibintangi sederet aktor Barat terkenal: Anthony Quin, Irene Papas, Oliver Reed, dan Rod Steiger.
Film kolosal yang diproduksi Mustapha Akkad, seorang Muslim asal Aleppo, Suriah, ini mengisahkan perjuangan heroik Umar Mukhtar, seorang tokoh Muslim, melawan tentara pendudukan Italia di Libya. Dengan gagah berani Singa Padang Pasir ini mempertahankan setiap jengkal negerinya dari penjarahan sedadu-serdadu Mussolini yang terkenal brutal. Beliau baru tertangkap ketika usianya sudah 70 tahun. Siapakah tokoh Thariqat yang begitu terkenal ini?
************
Umar Mukhtar lahir pada tahun 1862 di Bathafat, Libya Timur. Ia berasal dari suku Munfah. Dia sudah menjadi yatim ketika masih kecil, karena ayahnya meninggal dunia pada saat dia dan ayahnya dalam perjalanan menunaikan ibadah haji. Dalam usia yang masih kecil itu ia sudah berhasil menghafalkan seluruh al Quran dan mempelajari ilmu agama di tempat kelahirannya, ia berangkat Ke Jaghbub. Di kota ini ia menjadi murid Muhammad Idris putra dari Sayyid Muhammad al Mahdi. Segera sang Gurupun mengetahui kecerdasan muridnya. Tidak aneh bila ketika muridnya selesai belajar kepadanya, ia mengangkat Umar Mukhtar sebagai guru di kawasan Qushur, sebuah kota kecil di kawasan Jabal Akhdhar pada tahun 1897.
Umar Mukhtar adalah seorang Da’i Islam yang besar. Dia menyeru kepada Islam, dan menyebarluaskan pikiran-pikiran Islam dengan memberikan bimbingan, penjelasan, dan keteladanan. Dia mempunyai bakat besar. Allah memberikan kepadanya kemampuan menyelesaikan berbagai perselisihan di kalangan masyarakat dengan cerdas dan piawai. Di sini Umar Mukhtar menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan. Beberapa tahun kemudian, karena keberhasilannya mengarahkan masyarakat sekitarnya, penguasa kawasan itu mengangkatnya sebagai penasehatnya.
Saat itu gerakan pendudukan tentara Italia di negerinya semakin menjadi-jadi. Melihat hal itu, Umar Mukhtar terpanggil untuk mempertahankan negerinya. Dengan segera ia menjadi salah seorang tokoh terkenal. Malah, akhirnya ia diminta gurunya untuk memimpin perlawanan terhadap penjajah Italia.
Kilas Balik
Perhatian Italia terhadap Libya mulai sejak 1871. Yakni, setelah Italia beerhasil mewujudkan kesatuan politiknya. Negeri ini pun mulai mengerlingkan pandangannya ke arah Eropa, kawasan Mediteranean dan Afrika. Perhatiannya pertama-tama terarah pada masalah kebudayaan, kesehatan dan ekonomi.
Pada tahun 1910 Italia mengirim sebuah ekspedisi arkeologi ke Libya, ketika itu berada di bawah kawasan kesultanan Turki. Untuk meneliti peninggalan purba. Konon, ekspedisi ini juga menyiapkan peta-peta yang memudahkan tentara Italia memasuki Libya. Pada Januari 1911 penguasa Turki di Libya memperingatkan pemerintah pusat di Turki tentang sikap Italia yang semakin menaruh perhatian terhadap Libya. Tapi, pemerintah Turki memandang remeh peringatan itu. Sikap pemerintah Turki ini bisa dimengerti, karena pemerintah Turki tengah disibukkan oleh berbagai persoalan dalam negeri.
Peringatan itu ternyata benar. Tanpa diduga pada tanggal 29 September 1911 Italia menyatakan perang terhadap Turki di Libya. Pada hari berikutnya skuadron kapal perang Italia mulai memblokade Tripoli, ibukota Libya. Setelah empat hari diblokade, kota itu jatuh. Karena keunggulan kekuatan militer dan teknik serdadu Italia ketika itu, yang berjumlah 40.000 orang, 6.000 di antaranya anggota pasukan artileri, sejumlah kota penting Libya jatuh. Pada akhir Oktober 1911 hampir sebagian besar kawasan pantai negeri ini telah jatuh ke tangan pasukan pendudukan Italia.
Pasukan Turki yang berada di Libya dengan gagah berani berupaya menghadang gerak maju pasukan Italia. Sayang, karena jumlahnya sedikit dan dilengkapi dengan peralatan perang yang terbatas, akhirnya pada 11 Oktober 1912 mereka terpaksa mendatangi sebuah perjanjian ini, Libya harus diserahkan Turki pada Italia.
Ketika bangsa Libya mengetahui hal itu, merekapun bergerak untuk mempertahankan negeri mereka. Terjadilah penyerangan terhadap pasukan pendudukan Italia. Bantuan sukarelawan berdatangan dari sejumlah negara Arab lain. Sayang, perlawanan ketika itu dilakukan secara acak-acakan. Akibatnya, perlawanan itu dengan mudah dipatahkan lawan.
Setelah pasukan Turki ditarik mundur dari Libya, para pengikut Gerakan Sanusiyyah yang memegang kendali perjuangan melawan pendudukan Italia. Khususnya di kawasan Cyrenayca dan Libya Timur. Di antara tokoh gerakan perlawanan itu ialah Sayyid Ahmad Syarif as Sanusi dan Sayyid Muhammad Idris as Sanusi. Sementara perlawanan di Tripoli di bawah pimpinan Sulaiman al Baruni. Pertempuran yang paling sengit meletus pada bulan April 1915, disebut pertempuran Qardhabiah.
Tampil ke Depan
Pada bulan Oktober 1922 Benito Mussolini (1883 – 1945) berhasil merebut kekuasaan di Italia. Ia melihat Libya merupakan medan yang luas untuk menunjukkan kekuatannya kepada dunia. Mulailah babak baru pendudukan Italia di Libya.
Dua tahun sebelumnya tercapai perjanjian antara panglima pasukan Italia di Libya dan pemimpin perlawanan Libya dan pemimpin perlawanan Libya, Muhammad Idris as Sanusi. Dalam perjanjian ini, yang disebut dengan ‘Perjanjian Rajmah’, Italia mengakui kedudukan Muhammad Idris as Sanusi sebagai penguasa kawasan pedalaman Libya. Sebaliknya ia mengakui kedudukan panglima pasukan Italia sebagai penguasa kawasan pantai Libya.
Perjanjian Rajmah tersebut berlaku efektif sampai 1922. Pada tahun itu Mussolini membatalkan perjanjian itu. Penguasa Pendudukan Italia pun menyatakan kekuasaannya meliputi seluruh Libya.
Melihat tindakan Mussolini yang seenaknya itu, Muhammad Idris as Sanusi menyadari, Italia berupaya menyingkirkannya. Iapun memilih meninggalkan negerinya menuju Mesir, setelah menyerahkan kepemimpinan perlawanan kepada Umar Mukhtar. Ketika itu Umar Mukhtar telah menjadi salah seorang tokoh Gerakan Sanusiyyah.
Setelah perlawanan terhadap pendudukan Italia berada di tangan Umar Mukhtar, pusat perjuangan mereka dialihkan ke kawasan Cyrenaica. Di kawasan itu meletus berbagai pertempuran sengit, antara para pejuang Libya di bawah pimpinan Umar Mukhtar dan serdadu-serdadu Itallia di bawah komando Jendral Graziani. Dalam pertempuran-pertempuran itu, Cyrenaica mendapat gempuran habis-habisan dari pesawat-pesawat tempur dan tank-tank Italia yang menabur kematian. Graziani membentuk “Mahkamah Militer Kilat”.
Dalam mengarahkan gerakan perlawanan Libya, Umar Libya, Umar Mukhtar memilih Jabal Akhdhar sebagai pangkalan. Karenanya pasukan Italia berupaya memblokadenya dengan menduduki wilayah-wilayah sekitarnya. Misalnya, Ajnabiah dan Jaghbub. Malah, untuk mematahkan perlawanan Umar, Mussolini mengangkat Jendral Padolini sebagai penglima baru pasukan pendudukan Italia.
Dalam menghadapi Umar Mukhtar dan para pengikutnya, Jendreal Padolini pertama-tama menyebarkan pamflet-pamflet ke seluruh penjuru Libya. Tapi upaya ini tidak mendatangkan hasil. Melihat kegagalan itu, Padolini mengubah taktiknya. Ia membuat sejumlah jalan menuju Jabal Akhdhar guna memudahkan serdadu-serdadunya memburu Umar Mukhtar dan para pejuang Libya lainnya. Ternyata taktik ini juga patah di tengah jalan. Ini karena Umar Mukhtar dan para pengikutnya benar-benar menguasai kawasan itu. Sehingga dengan mudah mereka melepaskan diri dari sergapan pasukan Italia.
Menolak Berbagai Tawaran Menarik
Melihat kegagalan taktik militer yang ia lakukan, Padolini berganti haluan dengan memakai sarana politik. Ia mengajukan sejumlah tawaran yang menarik kepada Umar Mukhtar ddan para pengikutnya, dengan syarat Umar Mukhtar mau berunding. Tapi, Umar Mukhtar menolak semua tawaran itu.
Pada Juni 1930 utusan Padolini kembali menemui Umar Mukhtar, menawarkan gencatan senjata. Sekali lagi tawaran itu ditolak Umar Mukhtar, dengan mengajukan sejumlah syarat dan tuntutan yang sulit dipenuhi. Misalnya, kesediaan Italia untuk tidak mencampuri urusan Libya, pengakuan bahasa Arab sebagai bahasa resmi, dan pendirian sejumlah perguruan tinggi. Jelas, tuntutan itu ditolak pemerintah Italia.
Melihat bahaya yang semakin meningkat, peenguasa Italia menyadari bahwa harapan yang ada terletak pada perlakuan yang baik terhadap Umar Mukhtar dan kesediaannya untuk berunding. Padolini pun mengutus duta kepada Umar Mukhtar, untuk mengemukakan kepadanya bahwa tuntutan-tuntutannya diterima pemerintah Italia. Tapi untuk menandatangani perjanjian di antara kedua belah pihak, perlu diadakan pertemuan antara Umar Mukhtar dan Padolini. Sebagai tempat pertemuan, Padolini mengajukan Kota Bengazi.
Umar Mukhtar ternyata tidak mudah terkecoh. Ia mengetahui maksud yang tersembunyi di balik tawaran itu. Karenanya ia menolak untuk menemui Padolini. Sebagai gantinya ia mengutus Hasan Ridha as Sanusi. Seperti diperkirakan Umar Mukhtar, urusannya dipaksa Padolini untuk menyepakati sebuah perjanjian baru. Dalam perjanjian itu, antara lain Hasan Ridha dan Umar Mukhtar seetiap bulan akan menerima gaji sebesar 50.000 franc. Di samping itu Hasan Ridha akan dibuatkan sebuah istana megah di Bangazi. Pemeritah Italia juga menjanjikan akan memugar padepokan Umar Mukhtar, dan membangunkan sebuah rumah dan masjid untuknya.
Jelas, perjanjian itu ditolak Umar Mukhtar. Ia sebarluaskan penolakannya itu di kalangan bangsa Libya. Perangpun pecah kembali. Dalam menghadapi pertempuran yang kembali berkobar, Padolini mengerahkan komando pasukan Italia kepada Jendral Graziani. Graziani segera melancarkan upaya untuk membendung gerak Umar Mukhtar dan para pejuang lainnya. Antara lain dengan menutup sekolah-sekolah dan memaksa penduduk kawasan Jabal Akhdhar mengungsi ke wilayah-wilayah yang tandus dan kering kerontang. Akibatnya, banyak di antara mereka yang mati kelaparan. Graziani memerintahkan pemasangan kawat berduri di perbatasan Libya-Mesir, guna menghentikan bantuan dari negara-negara Arab lain.
Menghadapi tekanan yang semakin keras dan gempuran yang tidak kenal henti itu, Umar Mukhtar dan para pengikutnya kemudian pindah ke kawasan yang disebut dengan ‘Gunung Obeid’ dan terkenal sulit medannya ini mereka jadikan sebagai pangkalan baru. Penduduk kawasan ini, yang sebelumnya telah menyerah kepada pasukan pendudukan, malah berhasil dibangkitkan semangatnya untuk turun ke medan laga.
Dihormati lawan
Dengan berpindahnya pangkalan perlawanan, semangat perjuangan Umar Mukhtar berkobar kembali. Terjadilah serangkaian pertempuran sengit. Yang paling terkenal ialah ‘pertempuran Rahiba’, yang meletus pada 28 Maret 1927.
Pertempuran Rahiba terjadi setelah serdadu-serdadu Italia berhasil menguasai sepenuhnya kawasan pantai Tripoli dan Bengazi, dan memojokkan para pejuang ke kawasan Jabal Akhdhar. Ketika bulan Ramadhan (bertepatan dengan Maret 1927) tiba, Umar Mukhtar dan para pengikutnya lebih banyak menggunakan waktunya untuk melakukan berbagai ibadah seperti shalat dan tadarus al Quran. Saat itu seakan terjadi gencatan senjata di kedua belah pihak yang berperang untuk mempersiapkan diri guna menghadapi pertempuran yang bakal terjadi kembali.
Dalam suasana yang tenang itu, ada orang yang memberi saran kepada panglima pasukan Italia untuk menyerbu para pejuang. Saran itu disepakati pemerintah Italia. Segera dengan secara diam-diam dilakukan persiapan militer besar-besaran selam dua minggu. Pasukan yang terdiri dari lebih seribu orang ini dilengkapi dengan tank-tank dan peralatan perang termodern ketika itu. Pasukan ini kemudian bergerak ke Jabal Akhdhar, dengan diam-diam agar bisa sampai ke ujung kawasan itu, sementara pejuang tidak dalam keadaan siap.
Pada suatu pagi di bulan Ramadhan, ketika Umar Mukhtar sedang mendaras al Quran, tiba-tiba sejumlah pesawat tempur Italia melancarkan serangan besar-besaran terhadap tempat-tempat di sekitarnya. Belum lagi ia siap, seorang pengiringnya melaporkan tentang kedatangan serdadu-serdadu Italia. Atas saran seorang tangan kanannya, iapun membawa para pejuang yang tinggal berjumlah 100 orang ke hutan. Dengan taktik hit and run, akhirnya ia dan para pengikutnya berhasil mematahkan serangan dadakan yang dilancarkan serdadu-serdadu Italia. Dalam pertempuran ini korban di pihaknya sekitar 50 orang. Sementara pasukan Italia kehilangan sekitar 300 anggotanya. Kekalahan dalam pertempuran Rahiba ini benar-benar memalukan pasukan pendudukan Italia. Hal ini membuat Gubenur Jendral Tirocci melancarkan serentan tindakan militer guna menundukkan Umar Mukhtar dan para pengikutnya. Terjadilah serangkaian pertempuran sengit kembali. Yang paling terkenal, di antara pertempuran-pertempuran itu ialah ‘Pertempuran Kafra’ yang terjadi pada 8 Mei 1931.
Kemenangan Umar Mukhtar dan para pengikutnya dalam pertempuran-pertempuran itu membuat namanya terkenal. Tidak hanya di dunia Islam saja, tapi juga di Barat. Apalagi sikapnya yang menghormati dan memperlakukan baik para tawanan, membuat Umar Mukhtar dihormati lawan. Sebaliknya ia juga mengakui, tidak semua bangsa Italia setuju dengan tindakan pasukan Italia di Libya. Sikapnya yang jantan ini membuat perjuangannya mendapat perhatian banyak pihak di Barat.
Kisah mengharukan Umar Al-Muhktar yang Mati Syahid di Tiang Gantungan
Di antara kebiasaan Umar Mukhtar ialah keluar bersama-sama beberapa pengawalnya mengelilingi kawasan Jabal Akhdhar. Maksudnya untuk mengawasi gerakan serdadu-sedadu Italia. Tapi, terkadang ia kurang berhati-hati. Kerapkali ia melepaskan diri dari pengawalan para pengiringnya. Tidak aneh bila teman-temannya sering memperingatkannya. Meski demikian ia tetap melakukan tindakan itu.
Pada Jum’at 12 September 1931 Umar Mukhtar dan 40 orang pengiringnya keluar untuk melakukan pengintaian. Pasukan Italia ketika itu telah memasang perangkap di dekat Desa Salanthah, Jabal Akhdhar. Ketika ia dan para pengikutnya tiba di desa itu, tanpa menyadari adanya jebakan tersebut, tiba-tiba mereka telah dikurung oleh ratusan serdadu Italia. Terjadilah pertempuran sengit. Para pengiringnya bertempur sampai mereka semua mati syahid.
Melihat semua pengiringnya telah tewas, Umar Mukhtar yang ketika itu telah berusia 70 tahun tetap bertempur dengan sengitnya. Tiba-tiba kudanya terkena timah panas. Iapun jatuh terpental dari kudanya. Dengan berjalan tertatih-tatih ia menuju ke sebuah pohon, untuk sejenak bernafas. Tapi, segera ratusan serdadu Italia mengurungnya dan menangkapnya.
Umar Mukhtar, dengan pengawalan yang sangat ketat kemudian dibawa ke Marfa’, sebuah kota pelabuhan. Dari sana kemudian ia dibawa ke Benghazi. Kebetulan Jendral Graziani ketika itu sedang berada di Roma. Begitu menerima berita tertangkapnya Umar Mukhtar, hari itu juga ia langsung kembali ke Libya dengan menumpang pesawat terbang. Begitu sampai di sana, ia langsung memerintahkan Umar Mukhtar dihadapkan ke Mahkamah Militer, di bawah pimpinan hakim ketua Marioni1. Umar Mukhtar tampak gagah berani tatkala diadili. Keputusan segera dijatuhkan. Tak ayal lagi hukuman gantung dijatuhkan terhadap Singa Padang Pasir itu. Mendengar putusan itu Umar Mukhtar berucap: إنا لله وإنا إليه راجعون.
Mereka mendorongnya kepada kematian, namun Umar Mukhtar tidak gentar dan sedih. Dia tidak takut dan gentar menghadapi kematian, karena ia sendiri tellah berusaha lebih dari sekali untuk mendapatkannya di medan kemuliaan dan kesatriaan. Tidak satupun kata yang menunjukkan kelemahan dan keraguan keluar dari mulutnya. Bagaimana tidak, dia adalah singa padang pasir:
Singa mengaum di balik terali besi
Engkau tidak akan melihat singa menangis merunduk.
Pada pagi, Rabu 16 September 1931, yakni empat hari setelah Umar Mukhtar ditangkap, orang tua pejuang yang telah berumur 90 tahun itu dibawa ke tiang gantungan. Setelah melakukan shalat dan mengucapkan dua kalimat syahadat “لآ إله إلا الله محمد رسول الله Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Utusan Allah”, Umar Mukhtar dengan langkah yang tenang dan tersenyum menghadap Khaliqnya, diiringi tetesan air mata 20 ribu orag Libya yang ketika itu turut menghadiri kepergian Umar Mukhtar menghadap Tuhannya dan mati syahid di tiang gantungan.
Semoga Allah merahmati Ahmad Syauqi yang telah berkata untuknya:
Engkau disuruh memilih, maka engkaupun memilih bermalam dalam keadaan lapar,
Engkau tidak membangun kedudukan atau mengumpulkan kekayaan,
Sesunguhnya pahlawan mati karena kehausan, dan bukanlah pahlawan yang minum air dengan sekali tegukan.
Umar Mukhtar dimakamkan di dekat pintu masuk Benghazi Timur. Pada makamnya yang sederhana terukir tulisan: “Lambang kepahlawanan dan kesyahidan: Mujahid Besar Omar Mukhtar, Jumadil Ula 1350 H / 16 September 1931”.
LQ, Batu Tulis, 9 Mei 2001/ 15 Shafar 1422
1 Pengadilannya disebut sebagai ‘Pengadilan Thayyarah’.
Semoga bermanfaat
Wassalamualaikum!
Tidak ada komentar:
Write komentar